Kamis, 25 Maret 2010

Majalah Loud : 2009-09-02 12:14:06

false false false IN X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

The Trees & The Wild

“Mari Rasuk”

Teks/Foto : Sandro Rayhansyah

Trio pengusung modern folk-pop akustik asal Jakarta yang terdiri Remedy Waloni (vokal/gitar akustik), Iga Massardi (elektrik gitar) dan Andra B. Kurniawan (bas/gitar) ini membutuhkan waktu selama enam bulan untuk bersemayam dalam sekam sebelum menunjukkan elegansi harmonisasi folk mereka di kancah skena indie lokal. Promo album debut Rasuk yang menuai banyak pujian dari kalangan kritikus musik, mau nggak mau tertunda akibat Remedy yang harus menyelesaikan studinya di luar negeri. Rasuk mengusung eksperimen kimiawi antara lembutnya pop-akustik ala Kings of Convenience, suplemen gitar elektrik yang indah, dengan gebukan perkusi yang ramai dan leburan segenap unsur bebunyian tradisi lokal. Namun chemistry yang dihasilkan terkemas secara epik dalam ramuan yang melenakan pendengar.

Kini sang vokalis telah kembali, The Trees and The Wild (TTATW) siap menyibukkan diri dengan tawaran gigs dimana-mana dan siap menjadi salah satu band panggung terpanas awal tahun ini.


Kenapa formatnya trio gak full band? Lagu kalian beberapa juga ada yang full band...

Iga (I) : Sebenarnya simpel sih, karena kita ber-3 nih, Andra punya gitar akustik, Remedy punya, gue punya ya main aja gonjreng. Jadi ya dari awal berangkatnya bukan dalam format full band. Kayaknya full band kita juga udah bosen kan. Tapi dalam eksekusi karyanya kita masukin unsur full band juga kayak perkusi, drum, bas dan kawan-kawan.

Influens-influens kalian apa aja?

I : Beda-beda sih, kalau sekarang gue lagi suka Jack White, kayak White Stripes, Dead Weather.

Andra (A) : Kalau gue sih lebih ke alat kesenian tradisionil gitu. Kalau sekarang memang aplikasinya masih belum terlalu wah gitu (di album Rasuk), tapi suatu saat gue pengen gue memahami seluk beluk kesenian tradional dan bisa gue gabungin dengan karya kita (TTATW). Masih gue pelajarin sih.

Remedy (R) : Kalau gue sih lagi dengerin band-band dari Warp Records, kayak Aphex Twins, Boards of Canada, Flying Lotus, ya paling sama Mad Lib…

Dengan influens beda-beda gitu, kenapa kalian milih di jalur musik seperti ini? Modern-folk-lah kalau bisa dibilang...

I : Karena ada perbedaan antara kesukaan musik pribadi dengan kegiatan musik kita bertiga. Toh, kalau main ber-3 gue juga nggak harus bermain kayak Jack White, Remedy juga nggak harus ber-Aphex Twins. Jadi, influens memang ya sebagai mencari suasana baru. Cuma pada dasarnya ketika di TTATW kita coba nyocokin, kalau influensnya bisa dimasukin ya kita masukin, kalau nggak kita juga nggak maksain.

Kalian sendiri bagaimana mendeskripsikan musik kalian? Ada folknya, trus nuansanya juga agak kayak post-rock gitu dengan bebunyian aneh atau ambience...

R : Yang pasti kita dari nada awal yang kita dapat seakan-akan kita pengen dapat visualnya gitu, kalau dideskripsiin ya sesuai visual yang kita dapat. Apa ya? Musik landscape, gimana ya dengan mendengarkan lagu bisa kebayanglah (visualnya) setidaknya.

I : Kalau secara kaku atau secara genrenya kadang orang nanya...Karena dari awal kita nggak memusingkan hal itu, ya kita balikin konsep dasar kita adalah akustik. Trio bertiga gitar, dan vokal. Sisanya biar mereka sendiri yang mau nyebutnya entah apa, kita nggak pernah ambil pusing.

Apa maksud dari judul album Rasuk kalian?

A : Hmmm..., kita pilih karena dari awal kita pengen judul album yang bahasa Indonesia…

Tapi lagu kalian lebih banyak bahasa Inggrisnya?

A : Ya, tapi bukan maksud kami pilih Rasuk karena harus lagu bahasa Inggrisnya lebih sedikit dari bahasa Indonesianya. Cuma kita pilih Rasuk karena kedengarannya unik juga, dan kayak ada kata ’merasuk’ ya, jadi orang kalau denger lagu kita bisa ngeresapinya, dan dengan mendengarkan lagu kita mereka bisa mendeskripsikan masing-masing, ’Oh gue berada dimana.’ Dan memang pada kenyataan banyak yang feedback kita kayak, ’Oh kalau kita dengar lagu ini berasa di sini atau gimana.’ Jadi, kita senang dengar interprestasi orang yang beda-beda itu.

Lalu apa maksud ’Mari rasuk’ pada ”Malino”? Sebenarnya lagu ini bercerita tentang apa?

R : ”Malino” pas gue tulis (liriknya), kayak gimana ya...perasaan ya lo udah pusing dengan hingar bingar kota, kepenatan yang lo hadapi, lo balik lagi ke suatu tempat yang lo bisa tenang, ya lo keluar dari itu sih dan lo bisa lihat dari luar persoalan yang lo hadapi. Itu sih secara garis besarnya. Jadinya gimana lo meresapi apa yang lo hadapi. Soalnya kadang-kadang, orang-orang...apa ya, take it for granted istilahnya. Karena lo hidup di dalam sistem lo nggak bisa meresapi apa yang sebenarnya jadi masalah. Lo musti keluar. Jadi ”Malino” adalah tempat lo bisa keluar, melihat masalah dari luar dan memecahkan masalah.

Seberapa jauh kalian membatasi format folk-pop acoustic-based dengan suplemen elektrik gitar untuk lagu-lagu kalian? Sepertinya “Vendure” atau “Derau dan Kesalahan” sedikit banyak lari dari basic musik kalian…

I : Kita nggak pernah memberi batas-batas yang pasti sih, semuanya dikoridori oleh pantas atau nggak pantas. Jadi kita nggak cuma harus bisa full-band 8 lagu misalnya, habis itu nggak boleh, nggak gitu cara kerjanya. Kalau semua bisa dimasukin dengan unsur yang kita suka ya kenapa nggak.

Cover-art dan booklet kalian nuansanya agak nggak biasa, rada surreal, ini idenya siapa?

I : Awalnya kita juga nyari artwork buat album ini kan cukup panjang tuh (ceritanya). Akhirnya salah satu teman kita bawa semacam lukisan yang sekarang jadi cover album kita, yang gambar berang-berang tuh, itu judulnya ”Taman Berang-Berang”. Terus kita mikir bisa nggak yah kita kontak yang bikin. Akhirnya ketemu namanya Marianto, seniman dari Jogja, kita kontak untuk kerjasama, niatnya kita pengen beli. Tiba-tiba respon dari Marianto luar bisa mengejutkan. Dia bilang, ”Oh ya udah saya bikinin 10 artwork khusus buat kalian!” Terus kita kaget, gimana cara bayarnya yang kita pikir wah nggak mungkin nih (tertawa). Ternyata dia minta bayaran dalam bentuk CD TTATW kalau nanti udah jadi. Jadi kita luar biasa berterimakasih sama Marianto.

Nggak coba nawarin materi ke major label? Sepertinya lagu-lagu kalian juga nggak terlalu ribet kan tuh...

I : (tertawa). Awalnya kita juga nggak nawarin ke siapa-siapa.

A : Kita sebenarnya ketemu sama si Agus (Lil’Fish Record), karena kebetulan dia dengerin MySpace kita. Karena dulu demo 4 lagu itu cuma buat dokumentasi pribadi kita, jadi gak nawarin ke siapa-siapa, lalu tiba-tiba dia menyodorkan ke kita ya...

R : Lo yakin Gus? Ini kita anak kuliahan loh (tertawa).

I : Sebenarnya kita memang nggak ada menawarkan, terus ada ditawarin ya Alhamdulillah, dan ternyata cocok, sabar, baik-baik, ya udah kenapa nggak. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar